Rabu pagi di Bandung itu bawa vibes yang susah ditolak buat rebahan. Tapi kerjaan tetap kerjaan. Hari itu, saya dan Abud—rekan sejati saya di medan kalibrasi—punya tugas ke sebuah lab pengujian makanan di Bandung. Tugasnya kalibrasi tiga alat: timbangan digital, oven, dan waterbath.
Karena masih satu kota, kami tinggal order driver online. Duduk santai di kursi belakang sambil ngobrol ngalor-ngidul soal hal-hal yang kadang penting, kadang absurd. Salah satunya: kenapa teh manis di warung selalu terasa lebih enak dari buatan sendiri?
Sampai di lab, kami langsung disambut hangat sama tim pengujiannya. Baunya khas: steril, rapi, dan AC yang menusuk hingga tulang.
Kalibrasi dimulai dari timbangan digital. Titik uji dari 0,1 gram sampai 200 gram—kecil-kecil tapi krusial. Kami kerja pelan-pelan, teliti, dan pastinya serius. Alhamdulillah, hasilnya stabil. Timbangan bekerja seperti seharusnya: tenang, gak baperan.
Lanjut ke oven, titik uji di 105,0°C dan 130,0°C, dipakai buat proses pengeringan sampel makanan. Saya pasang sensor suhu sambil nyiapin log sheet. Saat proses kalibrasi berjalan mulus, tiba-tiba…
Abud teriak pelan, “Aduh!”
Ternyata tangannya kena heater oven waktu dia pasang thermokopel. Langsung refleks dia bilang, “Waduh panasnya kayak nerima kabar mantan nikah duluan!” Saya langsung ngakak. Tapi ya begitulah—kerja bareng rekan sejati, insiden pun bisa jadi bahan ketawa.
Untungnya ovennya stabil. Gak banyak ngambek, suhunya akurat, gak ngaco.
Terakhir, giliran waterbath, titiknya di 70°C dan 90°C. Ini bagian paling kalem. Air hangat, proses steady, hasilnya pun stabil. Gak banyak drama, tinggal pastikan suhu cocok dengan standar.
Setelah semua alat beres, kami istirahat sebentar sambil disuguhi teh manis dan pisang goreng hangat. Nikmatnya gak ketulungan. Obrolan pun ngalir—dari bahas alat sampai ngeledek tangan Abud yang sekarang jadi “bekas prajurit oven”.
Hari itu, saya kembali diingatkan: kerjaan teknis kayak kalibrasi memang butuh fokus dan presisi, tapi juga butuh tawa, cerita, dan partner yang bisa diandalkan. Dan buat saya, itu ada di satu nama: Abud.
Sore Hari, Jalan Pulang, dan Keindahan Braga
Setelah pamit dari lab, kami order driver online lagi buat balik ke kantor. “Lewat Braga, ya Kang,” kata saya ke driver.
Dan ternyata, itu keputusan paling tepat hari itu.
Mobil melaju pelan di antara jalanan Braga yang mulai hidup menjelang senja. Lampu-lampu toko mulai menyala, bangunan tua berdiri anggun, dan suasana sore yang adem bikin kami terdiam sebentar.
Saya sempat buka jendela sedikit. Angin sore masuk, bawa aroma khas Bandung—campuran antara kopi dari kafe sekitar dan kenangan. Di kursi sebelah, Abud yang biasanya cerewet, kali ini cuma senyum sambil ngelihat ke luar.
“Bud,” kata saya pelan, “kalau kerjaan kita selalu lewat Braga pas pulang, mungkin capeknya gak bakal kerasa ya.”
Dia cuma jawab, “Iya. Apalagi kalau tiap pulang disuguhi pisang goreng juga.”
Kami tertawa pelan. Jalanan Braga sore itu jadi semacam penutup manis dari hari yang produktif, lucu, dan penuh cerita.
Kalibrasi boleh selesai. Tapi cerita dari hari itu? Kayaknya bakal terus jadi bahan obrolan berdua di perjalanan kerja selanjutnya.