Kalibrasi Furnace 3 titik di Padang, Sumatera Barat. Sungguh sangat menyenangkan tugas kalibrasi ke sini. Ini pertama kali aku ke Padang, Tanah Minang dan tempat dimana cerita rakyat Malin Kundang lahir dari sini.
Seperti biasa, tugas kalibrasi dan melakukan perjalan ke setiap pulau rasanya seperti melakukan liburan. Berlibur sambil belajar menambah wawasan kalibrasi instrumen.
Setiap kali akan melakukan perjalanan dengan menaiki pesawat pasti ada rasa deg-degan, tapi semua itu tergantikan dengan keseruan menjelajahi Kota Padang yang indah.
Teh Talua
Teh talua adalah minuman campuran teh, kuning telur ayam kampung, susu dan gula. Rasanya sangat nikmat. Minuman teh talua ini populer di dikalangan masyarakat Minangkabau.
Ada kekhawatiran dengan rasa amis yang ditimbulkan dari telur. Tapi setelah saya mencicipi, teh talua ini sangat enak dan tidak terasa amis dari telurnya.
Tidak lengkap rasanya jika tidak mencoba makanan yang ditawarkan di kedai ini. Kami memesan martabak telur dan roti canai.
Martabak telur datang lebih dulu. Potongannya tebal, dengan isian yang melimpah. Ketika suapan pertama masuk ke mulut, aku bisa merasakan perpaduan sempurna antara gurihnya telur, daging, dan rempah-rempah yang kaya. Di sampingnya, ada acar mentimun dan cabai rawit yang menambah kesegaran.
Tak lama kemudian, roti canai kari Padang tiba. Rotinya hangat, lembut di dalam, dan sedikit renyah di luar. Kari Padangnya begitu pekat, dengan aroma santan dan bumbu yang menggoda. Aku mencocol sepotong roti ke dalam kuah kari dan langsung terpikat oleh rasanya yang menggugah selera.
Jembatan Siti Nurbaya
Di tengah teriknya matahari Padang, saya memutuskan untuk mengunjungi Jembatan Siti Nurbaya. Jembatan yang terkenal bukan hanya karena fungsinya menghubungkan dua sisi kota, tetapi juga karena legenda yang menyelimuti kisah cinta yang tragis antara Siti Nurbaya dan Samsulbahri.
Saya tahu, di balik megahnya struktur besi ini, ada cerita yang sudah mengakar kuat dalam sejarah Padang.
Sesampainya di sana, saya langsung terpesona oleh pemandangan yang menyambut. Jembatan ini membentang dengan elegan, di mana setiap lengkungannya seperti menggambarkan perjalanan cinta yang penuh tantangan.
Matahari di atas kepala bersinar terang, menciptakan siluet yang tajam di permukaan jembatan. Saya tidak bisa menahan diri untuk berfoto di setiap sudut—satu di dekat pagar besi dengan latar belakang sungai Batang Arau yang berkilau, dan satu lagi di tengah jembatan, dengan Gunung Padang yang tampak seperti penjaga kota.
Setiap foto yang saya ambil terasa seperti potongan cerita dari zaman dulu yang terjaga dalam waktu. Suara angin yang berhembus di antara kabel-kabel jembatan menambah nuansa sejuk, berbeda dengan terik matahari yang menyentuh kulit.
Sesekali, saya melirik ke bawah, melihat kapal-kapal kecil yang melintas, seperti menambahkan sedikit gerakan di tengah ketenangan kota ini.
Di ujung jembatan, saya melihat beberapa warga lokal yang sedang menikmati suasana, mungkin mereka yang sudah lama tinggal di Padang dan punya banyak cerita tentang tempat ini.
Saya teringat kisah Siti Nurbaya, tentang bagaimana ia terjebak dalam takdir, seolah-olah jembatan ini menjadi saksi bisu dari segala cerita yang telah lalu.
Dengan senyum puas dan beberapa foto cantik di ponsel, saya melangkah pergi, membawa pulang kenangan dari Jembatan Siti Nurbaya—tempat di mana sejarah, legenda, dan keindahan alam bertemu dalam harmoni yang sempurna.