Perjalanan minggu ini saya berangat ke kota Surabaya. Setelah minggu sebelumnya melakukan penerbangan ke Kalimantan. Kini Surabaya lagi. Ya, perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang kedua kalinya saya menginjakan kaki di kota ini. Alhamdulillah saya bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk mengunjungi kota Pahlawan.
Sebelum keberangkatan, sudah terbayangkan betapa akan menyenangkannya melakukan perjalanan ke kota Surabaya. Apalagi melalui jalur darat, itu yang saya nantikan. Bagi saya, terkadang melakukan perjalanan menggunakan transportasi darat adalah bentuk dari relaksasi setelah beberapa kali menaiki pesawat.
Mengapa dikatakan relaksasi, entah kenapa saya masih suka merasa deg-degan kalo menaiki pesawat. Saya tidak tahu apakah itu perasaan normal atau tidak, tapi itulah yang saya rasakan setiap kali menaiki pesawat. Oleh sebab itu, ketika saya mendapat giliran keberangkatan melalui jalur darat seperti ke Surabaya ini, rasanya hatiku sangat senang. Perjalanan kali ini bisa dijadian sebagai healing-lah intinya gitu.
Seperti biasa, bagiku perjalanan adalah pekerjaan. Pekerjaan kalibrasi. Tapi pekerjaan dan berpetualang adalah satu paket. Paket lengkap, bisa membantu konsumen memenuhi kebutuhan kalibrasinya dan juga saya bisa banyak mengenal hal-hal baru, ditempat yang baru. Di sana, peralatan suhu seperti oven, furnace dan lainnya sudah siap menanti untuk dikalibrasi.
Berseliweran di dalam pikiranku, bayang-bayang soal hal-hal seru apa saja yang akan ku dapatkan. Seperti apakah kuliner yang akan ku temui. Ada juga rasa penasaran dengan rujak cingur Surabaya. Penasaran dengan berbagai macam kuliner khas Surabaya. Penasaran dengan tempat indah di Surabaya yang bisa ku dikunjungi. Harapannya usai pekerjaan kalibrasi rampung keingingan-keinginan tadi bisa terpenuhi.
Bagaimana, penasaran dengan cerita perjalanaku ke Surabaya? Simak artikel menarik berikut ini.
Persiapan Keberangatan ke Surabaya
Pagi jam 05.00 WIB dini hari, suasana Bandung masih gelap dan dingin. Kami berkumpul di titik kumpul untuk mempersiapkan barang perlengkapan. Semua peralatan kalibrator sudah dipersiapkan dengan baik di hari sebelumnya, jadi tinggal angkut saja ke bagasi mobil.
Beberapa kalibrator sudah tinggal didistribusikan saja, seperti anak timbangan E2 untuk mengkalibrasi timbangan. Perlengkapan kalibrator lain seperti kalibrator dimensi serta kalibrator suhu pun siap di pick-up.
Suasana sekitar masih hening namun gelap sudah semakin memudar karena matahari semakin menampakan diri. Terdengar suara mesin mobil dinyalakan, seketika itu adrenalinku mulai sedikit naik. Kami siap untuk berpetualang.
Perjalanan pun dimulai. Saya duduk dibangku depan sambil mengamati sekitar. Di sudut jalanan kota Bandung masih terlihat lenggang, belum banyak kendaraan lalu-lalang. Keramaian ibu-ibu ke pasar sudah banyak bertebaran di jalan.
Kala itu udaranya benar-benar sejuk dan dingin. Bikin perasaan deg-degan, kegirangan akan berpetualang ke Surabaya.
Petualangan ke Surabaya Dimulai
Perjalanan dari Bandung yang sejuk, meluncur di Tol Cipularang, menuju Cileunyi. Jalan tol ini membelah bukit-bukit hijau, membawa kita menyusuri pemandangan alam yang hijau dan asri, dengan pepohonan yang berbaris rapi dan sesekali kita melewati terowongan panjang yang memisahkan dunia sejenak.
Keseruan tidak cukup sampai situ, perjalanan baru benar-benar dimulai ketika kita sudah memasuki Tol Cisumdawu, jalan tol baru yang membawa kami menuju Sumedang.
Di sepanjang Tol Cisumdawu, suasana berubah menjadi lebih tenang dan alami. Perbukitan menjulang tinggi, dengan hutan hijau yang rimbun mengelilingi jalan tol. Selanjutnya kita akan dibawa melewati lembah-lembah yang tersembunyi, dan tak jarang desa-desa kecil muncul dengan rumah-rumah tradisional di antara ladang padi yang hijau itu.
Ini adalah wajah Jawa Barat yang sesungguhnya, jauh dari keramaian kota, penuh dengan ketenangan alam yang memanjakan mata.
Waktu berlalu, tak terasa perjalanan sudah lebih jauh, kita tiba di Dawuan, kawasan yang dipenuhi sawah dan kebun. Pemandangannya begitu damai, serasa melambatkan waktu. Namun perjalanan harus berlanjut. Jalan tol membawa kita ke Cikampek, dan perubahan pemandangan pun mulai terasa.
Kini, memasuki kawasan industri yang lebih padat, dengan pabrik-pabrik dan jalan raya yang sedikit hiruk pikuk, meski masih ada beberapa hamparan sawah yang menyejukan mata dan ketenangan dengan suasana pedesaannya. Lumayan lah.
Dari Cikampek, tol mengarah ke Cirebon, kota yang penuh sejarah dan cita rasa. Setelah menikmati sedikit waktu di kota ini, kita melanjutkan perjalanan melalui Tol Pejagan-Pemalang, dan disambut dengan pemandangan pesisir Laut Jawa di Tegal dan Brebes. Angin laut yang segar menemani perjalanan kami ke Semarang, di mana pemandangan gunung-gunung dan sawah kembali memenuhi mata.
Akhirnya, kami tiba di Surabaya, kota yang tak pernah tidur, dengan gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan sibuk. Tapi perjalanan ini tak hanya tentang sampai di tujuan. Petualangan ini adalah perjalanan yang membawa kita melewati lanskap yang luar biasa, dari bukit hijau yang tenang hingga pantai yang berangin, dari desa yang damai hingga kota yang ramai.
Tol Cisumdawu dan jalan tol lainnya menyajikan pemandangan yang begitu bervariasi, mengajak kita untuk merasakan perjalanan yang lebih dari sekadar jarak antara dua kota besar.
Mencicipi Rawon di Surabaya
Begitu kaki saya menapak di Surabaya, perut langsung memberontak, seakan ingin cepat-cepat bertemu dengan hidangan khas yang sudah terbayang sejak perjalanan dimulai: rawon! Tidak pakai basa-basi, saya segera menuju warung legendaris yang terkenal dengan rawon hitamnya yang kaya akan rempah. Tempatnya sederhana, tapi suasananya hangat – mungkin juga karena aroma kluwek yang menggoda sudah memenuhi ruangan, membuat rasa lapar semakin tak tertahankan.
Ketika sepiring nasi rawon tersaji di depan mata, lengkap dengan potongan daging empuk, tauge segar, tempe goreng, dan sambal yang tampak pedas, rasanya seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Di sampingnya, mangkuk kuah hitam pekat menunggu untuk dituangkan – kental, harum, dan penuh rasa. Begitu kuahnya menyentuh nasi dan bercampur dengan daging serta lauk, tampilan hidangan ini semakin menggugah selera.
Di sela-sela suapan, percakapan ringan dan canda tawa tak pernah absen. Teman saya, yang duduk di sebelah, bercanda soal betapa "sakral" momen makan rawon ini, seolah-olah sedang menghadiri upacara khusus. Kami tertawa sambil menggoda satu sama lain, mengomentari betapa antusiasnya masing-masing menyantap hidangan yang kaya rasa ini. Sesekali, ada yang terbatuk kecil akibat sambal yang "menampar" lidah, tapi justru itulah bagian serunya.
Perlahan, sendok demi sendok, rawon hangat dan lezat ini menghilangkan semua rasa lelah perjalanan. Dengan setiap suapan, rasa kuah yang gurih dan daging empuk membangkitkan semangat baru, seakan memberikan sambutan khas Surabaya yang ramah dan penuh cita rasa. Canda tawa yang mengiringi makan siang ini menjadi bumbu tambahan yang tak ternilai, menciptakan pengalaman yang tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menghangatkan hati.
Di akhir makan, kami saling tersenyum puas – rawon ini bukan sekadar hidangan, tapi sebuah pengalaman. Rasanya, tak ada sambutan yang lebih hangat daripada menikmati sepiring rawon di Surabaya bersama teman-teman, diiringi obrolan ringan dan tawa yang tak putus.
Kalibrasi Dimulai
Pengalaman kalibrasi di Surabaya kali ini benar-benar penuh tantangan dan memberi banyak pelajaran baru. Setibanya di pabrik, sudah ada beberapa alat yang menunggu giliran untuk dikalibrasi—furnace dengan suhu 750 dan 900 derajat, calorimeter, water bath, dan oven pada suhu 105 derajat.
Setiap alat memiliki karakteristik dan tantangan masing-masing, sehingga saya harus benar-benar fokus dan teliti.
Saya mulai dengan furnace. Meskipun suhu 750 dan 900 derajat ini tidak setinggi suhu yang pernah saya kalibrasi sebelumnya, tetap saja perlu penanganan ekstra hati-hati.
Saya memastikan thermocouple dan thermometer yang saya bawa dari Bandung dipasang dengan tepat dan stabil. Saat suhu furnace mulai naik, saya harus memantau perubahannya dengan seksama, mencatat setiap angka yang keluar agar sesuai dengan standar yang dibutuhkan.
Kalibrasi suhu tinggi seperti ini selalu terasa menegangkan, karena tidak ada ruang untuk kesalahan, baik untuk akurasi maupun keselamatan.
Begitu furnace selesai, saya beralih ke calorimeter. Nah, ini alat yang berbeda tantangannya. Kalau furnace lebih pada pengendalian suhu tinggi, calorimeter fokusnya pada presisi pengukuran panas.
Di sini, saya harus menjaga lingkungan sekitar tetap stabil agar hasil kalibrasi akurat. Proses ini menuntut ketelitian tinggi dalam memantau setiap perubahan suhu yang sangat kecil.
Rasanya seperti sedang mengukur sesuatu yang nyaris tak terlihat—perubahan kecil, tapi sangat berarti.
Kemudian, giliran water bath. Meskipun terlihat sederhana, water bath tetap memerlukan ketelitian. Saya memastikan bahwa distribusi suhu di dalamnya merata, karena bahkan perbedaan suhu yang kecil bisa mempengaruhi aplikasi alat ini nantinya.
Saya mengambil beberapa pengukuran pada titik yang berbeda untuk memastikan bahwa suhu air konsisten dan sesuai standar.
Terakhir adalah oven dengan titik kalibrasi 105 derajat Celsius. Suhunya tidak terlalu tinggi, tapi stabilitas tetap penting. Di sini, saya menggunakan thermometer kalibrator untuk memastikan oven bisa mempertahankan suhu 105 derajat dengan konsisten.
Meskipun hanya satu titik suhu, menjaga kestabilannya penting karena banyak proses pengeringan dan pengujian laboratorium bergantung pada ketepatan suhu ini.
Setelah semua selesai, ada perasaan puas dan lega. Setiap alat yang berhasil saya kalibrasi dengan akurat adalah bentuk tanggung jawab yang berhasil saya tuntaskan.
Di akhir hari, pengalaman ini mengingatkan saya bahwa dalam dunia kalibrasi, ketelitian dan kesabaran adalah kunci utama untuk menjaga kualitas alat yang digunakan di industri.
Lezatnya Rujak Cingur
Di suatu siang yang cerah di Surabaya, saya memutuskan untuk mencoba salah satu hidangan legendaris kota ini rujak cingur.
Bagi saya, nama ini masih terdengar asing, tapi banyak orang bilang rujak cingur punya rasa yang unik dan tak terlupakan. Jadi, saya pun mencari tempat yang terkenal dengan sajian khasnya ini.
Saat rujak cingur disajikan, mata saya langsung tertuju pada piring berisi campuran sayuran segar, lontong, irisan buah-buahan, dan potongan cingur—yaitu hidung sapi yang sudah dimasak hingga empuk.
Yang paling menarik perhatian adalah bumbu hitam pekat yang menutupi seluruh bahan, hasil campuran petis, kacang, dan rempah-rempah. Di sampingnya, ada segelas es teh yang seolah siap menjadi pelengkap untuk meredam rasa kuat dari bumbu petisnya.
Dengan penasaran, saya mengambil satu suapan, memastikan ada sedikit dari setiap elemen di piring tersebut.
Begitu masuk ke mulut, saya langsung terkesima dengan ledakan rasa yang berbeda dari hidangan apa pun yang pernah saya coba sebelumnya.
Rasa petis yang gurih dan sedikit manis, berpadu dengan tekstur kenyal dari cingur, buah yang segar, dan sayuran renyah—semua menciptakan harmoni yang unik di lidah. Saya baru benar-benar memahami kenapa hidangan ini begitu disukai warga Surabaya.
Tak ingin terburu-buru, saya menikmati setiap suapan sambil menyesap es teh untuk menyegarkan lidah. Udara Surabaya yang hangat, suasana rumah makan yang ramai, dan hidangan yang kaya rasa membuat pengalaman ini terasa istimewa.
Rujak cingur ternyata lebih dari sekadar hidangan; ini adalah pengalaman rasa, tekstur, dan budaya yang berpadu jadi satu.
Seiring suapan terakhir, saya menyadari bahwa kuliner tradisional seperti rujak cingur punya cara tersendiri untuk membuat kita merasa lebih dekat dengan suatu tempat. Siang itu, saya tidak hanya menyantap makanan, tetapi juga menyelami sepotong kecil dari jiwa dan karakter Surabaya.