Di tempat kerja, kita semua pasti berharap suasana yang adem, tenang, dan saling menghargai. Ya, setidaknya cukup buat bikin kita betah menjalani jam kerja yang kadang terasa panjang. Tapi, namanya juga kerja bareng banyak orang, nggak semua bisa berjalan sesuai harapan.
Ada kalanya, suasana yang tadinya tenang mendadak berubah karena satu sikap yang... yah, bikin panas kuping. Misalnya, saat ada rekan kerja yang tiba-tiba menyuruh ini-itu dengan nada tinggi dan muka cemberut. Bukan karena kerjaannya berat, tapi karena caranya menyampaikan itu yang bikin risih.
Bayangkan saja, kita sedang fokus menyelesaikan tugas, lalu tiba-tiba disuruh melakukan sesuatu yang nggak jelas, tanpa konteks, tanpa penjelasan—cuma dengan wajah ketus dan suara ketus juga. Rasanya seperti... “Loh, aku salah apa ya?”
Kejadian seperti ini mungkin tampak sepele, tapi dampaknya bisa besar. Satu nada ketus bisa merusak mood seharian. Padahal, komunikasi itu kuncinya. Bahkan tugas yang berat pun bisa terasa ringan kalau disampaikan dengan cara yang enak dan saling menghargai.
Di kantor, sikap dan ekspresi itu punya pengaruh besar. Kadang, kita terlalu fokus pada teknis pekerjaan sampai lupa pentingnya etika komunikasi. Padahal, suasana kerja yang nyaman bukan cuma tanggung jawab pimpinan—tapi tanggung jawab kita semua sebagai rekan kerja.
Jadi, buat yang sering merasa kesal karena diperlakukan semena-mena oleh rekan kerja, tenang... kamu tidak sendiri. Tapi alih-alih membalas dengan sikap serupa, mungkin lebih bijak untuk tetap profesional dan menjaga batas. Kalau perlu, ajak ngobrol baik-baik di waktu yang tepat.
Karena pada akhirnya, kita semua datang ke kantor bukan cuma untuk cari gaji, tapi juga untuk tumbuh. Dan pertumbuhan itu akan lebih mudah kalau lingkungannya sehat—baik secara fisik, mental, maupun emosional.