Hari itu aku lagi sibuk-sibuknya. Deadline laporan tinggal beberapa jam lagi. Meja kerja udah kayak kapal pecah—kabel laptop kusut, sticky notes nempel di mana-mana, dan kopi udah tinggal sisa ampas.
Lalu datanglah dia. Si rekan kerja yang entah kenapa selalu muncul di waktu yang “tepat”—tepat bikin emosi naik.
Dia lewat, nyengir sedikit, terus bilang,
“Bro, tolong bantuin input data ya. Aku mau ke ruang sebelah bentar.”
Bentar katanya. Tapi ‘bentar’-nya itu selalu misterius. Kadang sejam. Kadang dua jam. Dan hari itu… dia ketahuan tidur di ruang istirahat. Tidur. Sementara aku ngerjain bagian dia.
Awalnya kupikir cuma aku yang ngerasa jengkel. Tapi setelah ngobrol-ngobrol sama beberapa rekan yang lain, ternyata bukan cuma aku yang pernah ‘kena’. Sering banget dia kasih tugas ke orang lain, lalu menghilang, nongol pas udah mau pulang. Dan lucunya, pas ditanya atasannya, dia jawab: “Udah kok dikerjain. Saya minta bantuan tim juga tadi.”
Cerdas. Tapi ngeselin.
Dari kejadian itu, aku belajar beberapa hal. Karena terus terang, kalau kita nggak tahu cara ngadepin orang kayak gitu, kita bisa meledak. Bisa salah langkah, yang ujung-ujungnya malah kita yang kena.
Jadi, buat kamu yang mungkin juga punya rekan kerja sejenis, ini beberapa cara yang bisa dicoba, berdasarkan pengalaman pribadi.
1. Jangan Langsung Marah
Reaksi pertama waktu tahu dia tidur? Ya tentu saja kesel. Tapi marah saat itu juga? Enggak.
Aku ambil napas dalam-dalam, lalu ngetik sambil mikir: “Oke, kalau aku meledak sekarang, apa untungnya buat aku?”
Ternyata nggak ada. Yang ada aku cap drama.
Makanya aku simpan dulu emosinya. Bukan berarti diam aja, tapi cari waktu yang tepat buat bersikap.
2. Kenali Polanya
Besoknya, aku mulai memperhatikan. Ternyata memang ada pola. Tiap hari dia datang telat, ngilang pas jam kerja, tapi selalu ada alibi. Kadang bilang bantu orang lain, kadang bilang sakit kepala.
Dari situ aku jadi bisa “siaga”. Kalau dia mulai minta tolong, aku cek dulu: ini urgent beneran, atau cuma modus kabur?
3. Mulai Belajar Bilang “Nggak Dulu, Ya”
Ini bagian tersulit. Karena aku tipe yang nggak enakan. Tapi terus-terusan iya-iya aja, aku jadi korban.
Jadi pas dia minta tolong lagi, aku bilang:
“Waduh, aku lagi ngejar deadline. Kayaknya kamu harus handle sendiri deh. Biar nggak numpuk di aku.”
Awalnya dia kaget. Tapi lama-lama dia ngerti. Dan tahu nggak? Setelah itu, dia malah nyari orang lain buat disuruh (ups).
4. Cerita ke Rekan Lain, Bukan Buat Gosip
Aku sempat ngobrol sama dua-tiga orang di tim. Nggak buat nyebar gosip, tapi pengen tahu, mereka juga ngerasa sama atau enggak.
Ternyata, iya. Jadi kami sepakat saling jaga. Kalau dia nyuruh, kita nggak langsung terima. Kita saling support buat kerja lebih adil.
Lingkungan kerja itu kayak rumah kedua. Kalau kita nggak saling dukung, bisa berat banget jalaninnya.
5. Simpan Bukti Diam-Diam
Bukan buat menjatuhkan, tapi buat jaga-jaga. Kadang aku capture pesan, atau catat tanggal-tanggal saat dia kasih kerjaan dan ngilang. Jadi kalau suatu saat aku harus menjelaskan ke atasan, aku punya data, bukan cuma emosi.
Dan bener aja, suatu hari ada review tim. Atasan nanya kenapa progress agak lambat. Saat itulah aku dan tim bisa menjelaskan dengan tenang—dengan catatan yang rapi, bukan drama.
6. Tetap Profesional, Tapi Jaga Jarak
Setelah kejadian-kejadian itu, aku tetap sapa dia, tetap jawab kalau ditanya. Tapi untuk urusan kerja, aku mulai jaga jarak. Bukan berarti musuhan, tapi aku nggak mau lagi jadi penampung kerjaannya.
Kadang kita harus realistis: nggak semua orang di kantor akan sepemikiran atau sefrekuensi. Dan itu nggak apa-apa. Yang penting kita tahu cara menjaga diri.
7. Belajar Dari Pengalaman
Anehnya, dari orang yang nyebelin ini… aku malah belajar banyak. Belajar bilang "nggak", belajar mengatur emosi, belajar komunikasi asertif, dan belajar membela diri tanpa harus menjelekkan orang.
Dunia kerja memang penuh kejutan. Kadang kamu dapat teman satu frekuensi, kadang kamu dapat "ujian" berupa rekan yang nyebelin. Tapi di situlah tempat kita tumbuh.
Penutup: Tetap Waras, Tetap Produktif
Setiap kantor punya versinya masing-masing. Ada yang nyebelin, ada yang ngeselin, tapi juga ada yang baik banget. Yang penting, kita tahu cara menavigasi semuanya dengan kepala dingin.
Rekan kerja bisa macam-macam. Tapi kamu tetap bisa jadi versi terbaik dari dirimu—tanpa harus jadi pemarah, tanpa harus membalas.
Bekerja bukan hanya soal menyelesaikan tugas, tapi juga belajar mengelola diri. Karena pada akhirnya, yang dinilai bukan cuma hasil, tapi juga bagaimana kamu berproses di dalamnya.
Dan siapa tahu… suatu saat nanti, orang yang hari ini menyebalkan, malah berubah setelah melihat ketegasan dan profesionalismu.